Rabu, 12 Februari 2014

Surat yang Tidak Pernah Sampai

Aku masih ingat pertemuan terakhir kita. Pertemuan yang singkat namun kenangannya begitu lekat.
Aku masih ingat sesampainya di rumah, aku menuliskan sebuah surat. Surat yang hingga saat ini tak kunjung tiba di hadapanmu. 
_______________________________________________________________________________

Tik tok tik tok. Perhatianku daritadi tertuju pada putaran jarum jam. Ah, waktu selalu saja begitu, berjalan lamat-lamat saat aku menginginkan ia berputar cepat. Tidakkah ia mengerti bahwa aku sudah tak sabar menantikan pertemuan ini?

Kemarin, aku masih di tempat yang sama, masih menanti kehadiranmu untuk menepati janji yang pernah kauucap. Janji untuk segera kembali, secepat kau bisa. Dan yang tercepat kau bisa itu adalah dua tahun. Tak mengapa. Aku tetap menunggu secepat dan selama apa pun. Aku berterima kasih pada sang waktu karena kali ini ia sedang berbaik hati padaku.

Inilah waktuku. Inilah waktumu.


Kuhampiri kau yang sedang duduk di puncak anak tangga. Pelan saja aku melangkah, menikmati sosokmu yang selama ini kurindukan. Aku ulurkan tangan, dan kau balas menjabatnya. Tangan yang berjabat seolah menyerukan salam kerinduan.  Pandanganku lekat kepadamu. Senyum itu. Tatap itu. Masih sama. Tak ada yang berubah.

Aku duduk di sampingmu. Kupikir aku akan merasakan banyak kupu-kupu yang terbang dalam perutku. Anehnya itu tidak ada. Yang aku rasakan adalah di dekatmu aku merasa tenang, merasa nyaman. Dan merasa bahwa di sanalah tempatku seharusnya.

Kata demi kata meluncur. Mengalir tanpa canggung. Tanpa kusadari, aku telah membagi sesuatu yang ku simpan rapat-rapat dari orang lain. Jika kau akan bereaksi seperti kebanyakan orang dalam ceritaku itu, tak mengapa, aku sudah menyiapkan diri. Tetapi yang kudapat adalah pengertianmu. Rasanya menyenangkan dan menenangkan mendapati dirimu berdiri di sisiku di saat yang lain berdiri di kutub yang berlawanan denganku. Kau yang berpihak padaku. Kau yang meyakinkanku. Kau yang membangkitkanku saat aku dibuat jatuh oleh mereka.

Rupanya selain mendatangkan rindu yang menggebu, jarak dan waktu mampu mendewasakan. Itu terlihat dari setiap geliat kata yang kau ucap. Setiap kalimatmu seperti oase di tengah gurun pasir bagiku, menyejukkan. Atau seperti melodi pengantar tidur, menenangkan. Mungkinkah semua itu terasa hanya karena aku butuh diperhatikan? Rasanya tidak. Hey, aku masih ingat kamu tadi bilang bahwa kamu tahu apa yang sedang kurasa dari kicauanku di dunia maya. Bukankah itu artinya kau memperhatikanku? Senang tahu bahwa kau tak acuh meski selama ini tak ada sapa dan jumpa. “Tidak menyapa bukan berarti lupa,” itu katamu.

Satu jam yang diberikan sang waktu untuk aku menabung rindu sebelum akhirnya kau pergi lagi. Mungkin terasa sebentar. Tapi itu cukup bagiku. Aku merasa cukup karena Tuhan mencukupiku. Asal kau tahu, aku tak menghitung lamanya kebersamaan kita dengan putaran detik. Aku menghitungnya dari banyak tawa yang tergelak di antara detak yang bergerak cepat.

Terima kasih sudah mau berbagi. Terima kasih sudah mau mengerti. Katamu adalah cambuk semangatku. Terima kasih atas adanya aku, kamu, dan kita berdua. Dan aku sangat menikmati, mulai dari tawa hingga diam di antara kita.

Aku tak tahu seperti apa salam perpisahan yang baik. Karena perpisahan tak pernah kurasa baik. Maka kukatakan saja yang seperti ini. “Terima kasih dan hati-hati”. Ya, berhati-hatilah kamu. Karena hati ini kutitipkan padamu. Selain itu, sepertinya lebih dari separuh jiwaku ikut bersama kepergianmu.  

Dan saat ini aku sedang menunggu kebaikan sang waktu, lagi…


Agustus 2012

Aku. Kamu. Kita.

_______________________________________________________________________

Jika kamu baca surat ini, mari kita meminta waktu agar mempertemukan kita lagi. Duduk berdua seperti dulu, berbagi rasa takut juga mimpi. Karena kamu adalah orang yang tepat untuk tempat aku berbagi.

1 komentar:

  1. ada juga yang baik kok perpisahan, karena kita tak se-Maha-Tahu-Tuhan, :D semangat terus yaaaa
    - ika, tukangpos

    BalasHapus