Rabu, 09 November 2016

Butir Ketiga Sumpah Pemuda

Akhir-akhir ini aku lagi seneng nonton vlog-nya Ernest Prakasa. Lebih tepatnya nonton video yang ada Sky, anaknya Ernest. Aku ngefans berat sama Sky. Pemikirannya yang out of the box, jadi keunikan sendiri yang bikin betah ditonton. Belum lagi kemampuannya berbahasa Inggris. Aku iri, kalah jauh sama anak kecil itu.

Nah, suatu hari aku mantengin vlog Ernest di sekolah. Mumpung ada wifi dan lumayan buat nyumpal telinga dari obrolan guru-guru yang bahas masalah politik mulu. Ternyata ada salah satu guru yang mengintip. Kemudian beliau berceletuk, "Anak itu ngomongnya bahasa Inggris? Itu yang merusak bahasa Indonesia." And you know what? Komentar tersebut keluar dari seorang guru PKn. Berhubung aku males berargumen, jadi yaudahlahyaaa... Aku lanjutin lagi aja nontonnya.

Beberapa hari kemudian saat mengajar di kelas, entah gimana ceritanya, aku agak lupa, kami membahas kepanjangan VIP adalah Very Important Person. Kemudian ada siswa yang celetuk kurang lebih begini, "Bu, itu kan bahasa Inggris. Kata Bu piiiiiiippp (dia menyebutkan nama guru bahasa Indonesia) harusnya kita berbahasa Indonesia aja. Bahasa Inggris bisa merusak bahasa Indonesia."

Sampai sini apakah kamu mau jedotin kepala? Kalau iya, yuk bareng-bareng sama aku.

Aku sedih banget pernyataan itu keluar dari seorang pendidik, PNS pula. Ternyata, tingginya tingkat akademis dan pekerjaan, tidak menjamin seseorang untuk open minded.

Aku mungkin nggak pinter mengenai Pendidikan Kewarganegaraan. Aku juga awam mengenai sejarah. Aku pun bukan ahli bahasa. Namun menurutku, butir ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.", maknanya bukan untuk mengekang kita mempelajari bahasa asing. Di situ tertera "...bahasa persatoean, bahasa Indonesia", berarti bahasa Indonesia dijadikan salah satu alat pemersatu bangsa. Seperti yang kita tahu, Indonesia terdiri dari banyak suku yang masing-masing memiliki bahasa daerah. Untuk menyatukan dan mempermudah komunikasi antarsuku, maka digunakan bahasa Indonesia. Sepahamanku sih itulah makna butir ketiga Sumpah Pemuda.

Jadi, bukannya kita hanya boleh berbahasa Indonesia dan tidak boleh mempelajari bahasa asing. Kalau memang harus berbahasa Indonesia yang baik, aku setuju. Di era sosial media saat ini, mungkin banyak anak-anak yang lebih mahir "menulis" status yang tentunya menggunakan bahasa gaul. Membaca bacaan yang "bergizi" pun sepertinya juga jarang, sehingga mereka tidak paham cara berbahasa yang baik. Khususnya dalam hal tulis-menulis.

Namun, balik lagi, hal ini jangan dijadikan pengekangan untuk kita belajar bahasa asing. Percuma Indonesia ini kaya, tapi nggak ada yang bisa mempresentasikannya ke bangsa lain hanya karena kita tidak bisa berbahasa Inggris. Lagi pula menurutku, kalau kamu cuma bisa berbahasa Indonesia kamu hanya akan berada di Indonesia. Beda dengan mereka yang bisa berbahasa Inggris, mereka punya peluang untuk melihat dan mengunjungi negara lain, secara langsung atau hanya melalui dunia maya.

Semoga, hanya di tempatku saja ada orang yang tidak setuju penggunaan bahasa Inggris. Semoga di luar sana banyak orang yang sangat open minded, bahkan mengenalkan dan mengajarkan bahasa Inggris kepada anak sejak usia dini.

Jadi, inti tulisan kali ini adalah berbahasa Indonesia yang baik itu penting tetapi belajar bahasa Inggris (dan bahasa asing lainnya) juga tidak kalah penting. Sebuah catatan saja, kita fasih menulis "at home" tetapi sering kali salah saat menuliskan "di rumah.

Senin, 17 Oktober 2016

[Resensi] Matahari

Judul: Matahari

Penulis: Tere Liye

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Harga: Rp88.000,00

Tebal: 400 halaman









Sepulangnya dari klan Matahari, Raib, Seli, dan Ali kembali menjalani aktivitasnya dengan normal. Mereka kembali disibukkan dengan kegiatan sekolah, layaknya siswa pada umumnya. Yang sedikit berbeda dengan siswa lainnya, adalah apa yang dibaca oleh mereka bertiga. Jika siswa lain sibuk membaca buku teks, mereka justru membaca virtual book yang berada di dalam tabung kecil pemberian Av sesaat sebelum mereka kembali ke Bumi.

Namun seperti kita tahu, hidup selalu memberi kejutan yang tidak terduga. Diawali dengan masuknya Ali menjadi tim inti basket sekolah. Ali yang tidak pernah terlihat memegang bola basket dan selalu dianggap remeh oleh guru dan teman-temannya, tentu sebuah kejutan besar dan perlu dipertanyakan ketika ia mampu membawa tim basket sekolah ke babak final. Keanehan selanjutnya adalah kapsul terbang buatan Ali. Berkat tabung kecil dari Av, Ali mengetahui teknologi dan kekuatan yang dimiliki oleh klan Bulan dan Matahari. Ali kemudian menggabungkan dua kekuatan itu dan mengaplikasikannya pada kapsul ciptaannya. Masih berbekal tabung kecil dari Av, Ali bisa memprediksi letak klan Bintang yang selama ini misterius dan dianggap hanya sekadar legenda. Ali percaya kapsul buatannya mampu mencapai klan Bintang. Maka berbekal dengan rasa ingin tahu dan jiwa petualang khas anak remaja, Raib,Ali dan Seli berangkat menuju klan Bintang.

Perihal Jodoh, Tanyakan Padaku, Jangan Mereka!

Rasanya baru kemarin mendapat pertanyaan "Mau kuliah di mana? Jurusan apa?" Kemudian beberapa waktu berikutnya, dicecar oleh kalimat "Gimana skripsinya? Jadi kapan lulus nih?" Selanjutnya, pertanyaan yang diawali kata "Kapan" naik tingkat menjadi "Kapan nikah?". Satu pertanyaan yang akan meneror hidupmu ketika kamu berusia twenty something masih berstatus single.

Gerah? Pasti. Sebal? Jangan ditanya. Pasalnya, perkara jodoh hanya Tuhan yang tahu kapan datangnya. Sewaktu ditanya "Kapan lulus?" aku berpikir kalau orang-orang masih menanyakan hal yang sama itu artinya aku yang malas dan kurang berusaha. Tapi ketika diteror "Kapan nikah?" aku kudu piyeee??? Aku tak tahu apakah usahaku sudah di batas maksimal, tetapi aku selalu berupaya memperbaiki diri dan segala halnya agar saat sang jodoh datang aku dalam keadaan yang pantas dan siap. Masalahnya kan, aku aja nggak tau kapan jodohku datang, lalu apakah  orang lain yang justru lebih sibuk mempertanyakannya itu bisa lebih tahu?

Senin, 18 Juli 2016

Tahun Keempat

Setiap kali ada yang bertanya, "Kapan mau lanjut S2?" Saya cuma bisa cengar-cengir padahal dalam hati meringis. Jujur, bukannya nggak mau melanjutkan studi. Dalam hati keinginan untuk belajar masih ada. Keinginan untuk mengeksplor hal-hal baru juga besar. Tapi gimana ya, saya ini seperti trauma.

Berkutat dengan hal yang dulu membuat saya tertekan itu sepertinya tidak ingin saya ulangi lagi. Setidaknya dalam waktu dekat. Saya masih ingat bagaimana hampir setiap ujian (UTS maupun UAS), saya selalu menangis dan hampir menyerah. Masih lekat dalam benak saya, bagaimana saya menangis-nangis ke dosen pembimbing untuk diijinkan ikut sidang padahal baru 2 kali bimbingan.

Saya juga masih ingat ketika orangtua bertanya akan bekerja sebagai apa saya setelah lulus itu yang saya jawab dengan air mata karena saya harus menahan keinginan untuk menjadi seorang editor, dan harus kembali berada di jalur yang sudah seharusnya.

Lucu, gimana dulu saya menangis-nangis namun akhirnya sampai saat ini saya bisa bertahan.

Tahun ajaran baru ini adalah tahun keempat saya mengajar. Kalau ada yang bertanya apakah saya bahagia dengan apa yang saya jalani? Saya sangsi untuk menjawab iya. Saya tidak bisa menipu diri, karena ada saat-saat tertentu saya ingin berhenti. Meski belum bahagia sepenuhnya, tetapi saya senang kalau melihat anak-anak semangat belajar, senang kalau mereka tidak takut dengan Matematika yang selama ini menjadi momok. Jujur, justru mereka yang selalu menjadi penyemangat saya. Lelah dan jenuh langsung lenyap kalau melihat tingkah-tingkah mereka yang konyol-konyol.

Pada awalnya memang saya terpaksa menjalani profesi ini, sambil berharap mungkin ini hanya sementara dan suatu saat nanti saya bisa kembali mewujudkan cita-cita saya. Tetapi saya tidak pernah main-main dalam menjalankan tugas. Saya paham berat sekali tanggung jawab yang harus saya pikul. Sedikit banyak saya merasa saya ikut berkepentingan masa depan bangsa. Karena sudah menjadi tugas saya untuk mencerdaskan anak bangsa, menyiapkan generasi penerus yang nantinya bisa memajukan negari kita tercinta ini.

Setelah memasuki tahun keempat ini, saya berpikir mungkin pada akhirnya cita-cita saya memang tidak bisa diwujudkan. Maka dari itu selama saya mengajar saya tidak pernah lelah memberikan motivasi agar mereka semangat belajar dan mengarahkan mereka menuju cita-cita terbaik yang mereka inginkan. Dan jika nanti saya bisa melihat mereka meraih cita-citanya, mungkin saat itulah saya akan merasa kebahagiaan yang sepenuhnya.

Kamis, 30 Juni 2016

[Resensi] Secangkir Kopi dan Pencakar Langit

"Lebih baik mana, dicintai atau mencintai?"

Pertanyaan itu mungkin seringkali terbersit di hati kita. Pertanyaan inilah yang menjadi landasan Aqessa Aninda menulis kisah Secangkir Kopi dan Pencakar Langit.

Adalah Athaya, gadis yang bingung hendak memilih Ghilman orang yang selama ini dicintainya atau menerima Satrya yang mencintai dirinya. Permasalahan semakin rumit karena ketiganya adalah rekan sekantor. Dilatari gedung-gedung perkantoran setinggi pencakar langit juga cangkir-cangkir kopi khas gaya hidup kaum urban, ketiganya mencari jawaban untuk hatinya masing-masing.

Write what you want to read and write what you know. Itulah yang dilakukan penulis. Saya suka karena penulis benar-benar menguasai tulisannya. Dunia IT yang digeluti tokoh-tokohnya dapat dinikmati, membuat saya sebagai pembaca bisa merasakan kehidupan tokohnya.

Dan memang tokoh-tokoh dalam buku ini karakternya sangat kuat juga begitu hidup. Terasa seperti benar-benar berinteraksi langsung dengan mereka, apalagi canda-candaan khas  geng fogging (geng yang berisi Ghilman, Satrya dan kawan-kawannya di kantor). Rasanya baru kali ini lagi saya bisa berdelusi bareng teman-teman tentang tokoh yang ada di suatu buku.

Salah satu yang menjadi favorit saya adalah scene tokoh cowok ketika membicarakan niatnya untuk menikah kepada orangtuanya. Duh, rasanya pengin deh dinikahin sama si mas yang itu *wink* *mulai haluuuu*

Karena buku ini awalnya berasal dari situs menulis Wattpad, tentu banyak kekhawatiran yang selama ini banyak dikemukakan pembaca mengenai fenomena from Wattpad into book ini. Mungkin beberapa poin di bawah ini adalah keluhan-keluhan yang sering saya baca di beberapa reviu buku yang berasal dari Wattpad. Maka sekalian saja saya akan membandingkan dengan buku ini.

Hal yang paling mendasar dari keluhan para pembaca adalah ketiadaannya peran editor dalam proses penyuntingan naskah. Saya bagi jadi 2 poin ya.
1. Typo yang bertebaran
Saat membaca di Wattpad tentu kita tidak mempermasalahkan hal-hal teknis seperti typo ini. Dikasih bacaan gratis saja sudah bersyukur. Namun lain halnya kalau cerita tersebut berubah bentuk menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit. Baik penerbit mayor ataupun minor, harusnya editor berperan maksimal dong bersama penulis untuk memperbaiki naskahnya. Apalagi untuk masalah penggunaan imbuhan dan kata depan "di" yang masih saja banyak salah. Kita nggak mau dong sudah mengeluarkan uang (bahkan tidak sedikit, -iya harga buku sekarang kan mihiiiiillll-) tapi hal sepele kayak gitu aja masih bertebaran.

Naaaahhh, untungnya dari awal ada di Wattpad, Echa (panggilan akrab penulis) memang sudah melek EYD. Yaiyalaaah, secara ibunya guru bahasa Indonesia ya. Hahaha. Mungkin masih ada beberapa typo, tapi hanya seperti kata yang harusnya dicetak miring tetapi luput.

2. Cerita ternyata nggak beda jauh dengan yang ada di Wattpad, bahkan banyak yang sama plek-ketiplek
Banyak yang janji-janji katanya kalau di buku akan ada perbedaan, tapi banyak pembaca yang bilang ternyata sama saja. Janjimu palsu, thor.

Saya sendiri nggak ngeh di buku ini apakah ada bagian yang berbeda dari versi aslinya. Tapi saya sih nggak peduli ya, karena lagi-lagi dari awal memang alur dan plotnya sudah apik banget. Memang sih masih ada beberapa kalimat yang kurang efektif yang harusnya bisa diperbaiki, namun ada pun tidak mengurangi kenikmatan membaca.

Naah, poin yang terakhir yang kadang bikin keki adalah.
3. Stempel "Sudah dibaca jutaan kali di Wattpad" ataupun "Best Seller"
Buat saya angka jutaan itu tidak bisa jadi patokan bagus atau tidaknya suatu cerita. Tentu, bagus atau tidak kan subjektif ya. Setidaknya buat saya sih cerita yang bagus itu, alur dan plotnya rapih, karakter kuat, sebab-akibat dalam cerita masuk logika, tidak banyak typo juga timeline yang sesuai dan tidak ada plothole.

Saya sendiri jujur jengah masuk ke toko buku dan melihat banyak buku yang tercap "Sudah dibaca jutaan kali di Wattpad" itu. Justru saya malah jadi malas belinya.

Kebetulan di buku Secangkir Kopi dan Pencakar Langit ini tidak ada stempel itu dan embel-embel sejenis yang bikin malas. Tapi saya yakinkan kalian, you SHOULD read this book! Jujur, buku ini menyenangkan. Tetapi juga ada momen-momen yang bikin kalian merasa jleeebbb dan bapeerr. Ehehehe.

Duuuh, kalian merasa nggak sih kalau daritadi kayaknya saya cuma secuil bahas kekurangan buku ini? Ya abis gimana, buat saya buku ini emang bagus banget sih. Buku ini menuntaskan kerinduan saya akan novel Metropop atau Chicklit Indonesia yang witty, light sekaligus meninggalkan kesan. Beneran deh, buku ini worth to read dan cocok untuk mejeng di rak buku kalian. Saking senengnya saya sama buku ini, saya mau buat giveaway. Kapan? Tungguin aja, nanti saya kasih tau lagi. :)

PS: I'm one of your fans, Cha.
PPS: Semoga Past, Present, Future dan Jejak cepat nyusul SKdPL
PPPS: Kutunggu cerita mas Radhi kesayangannya aku ituuuu ;)

"Hubungan itu bukan judi, yang bisa kita coba, siapa tahu beruntung. Hubungan juga bukan merger dua korporasi yang harus saling menguntungkan." ~page 303

Judul: Secangkir Kopi dan Pencakar Langit
Penulis: Aqessa Aninda
Penerbit: Elex Media Komputindo
Harga: Rp 59.000