Jumat, 06 Februari 2015

Hujan yang Tersesat

Saat aku menulis ini, aku sedang memandangimu dari balik jendela.
Melihatmu turun satu per satu.
Mulai dari rintik kecil hingga akhirnya menjadi rinai yang deras.
Lalu akhirnya kamu menggenangi halaman juga jalanan depan rumahku.

Hujan
Bagaimana perasaanmu ketika kamu turun, banyak orang yang mencercamu karena urusan mereka jadi terhambat?
Bagaimana perasaanmu ketika kamu datang, banyak orang jadi bersedih karena kamu mengingatkan mereka akan masa lalunya?

Hujan
Hadirmu menjawab doa kami di saat musim kemarau tiba.
Namun ketika kamu hadir terus-menerus, sosokmu yang awalnya adalah berkah lalu menjadi musibah.
Bagaimana perasaanmu ketika kamu akhirnya menyalahkanmu?

Hujan
Kemana kah kau pergi?
Tersesatkah kamu mencari jalan pulang?
Sawah-sawah tempat di mana seharusnya kamu tertampung, kini berubah menjadi petak-petak perumahan.
Jalan-jalan gang pun kini semuanya menggunakan block yang membuatmu sulit menembusnya.
Daerah-daerah pegunungan yang harusnya menjadi wadah yang bisa menyerapmu, kini dipenuhi vila-vila.
Lalu, bagaimana caranya kamu pulang?

Hujan
Maafkan kami yang telah membuatmu sulit menemukan jalan pulang.
Sekarang jika ada banjir datang, aku tahu itulah kamu yang tersesat.
Itulah kumpulan air matamu, tangis sedih dan marah karena kelakuan kami, para manusia.

Hujan
Maafkan kami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar