Kamis, 10 Mei 2012

8 Mei 2012

Semalam tadi saya menangis. Entah berapa lama, karena di tengah tangisan, saya sudah terlelap. Yang jelas pagi ini saya terbangun dengan mata bengkak. Mata saya yang memang sudah besar terlihat tambah besar lagi. Perlu waktu 5 menit untuk mengompresnya dengan air dingin agar kembali tampak seperti biasa.

Malam itu saya sedang teringat seseorang. Sudah lama tidak bertemu. Mungkin karena terlalu lelah merindu, saya tak mampu menahannya. Akhirnya saya menangis. Memang tidak mengurangi dan mengubah keadaan, tapi setidaknya mampu mengosongkan dada yang tadinya terasa sesak.

Saya ingat orang itu dengan baik. Tubuhnya yang dulu bisa dikategorikan gemuk, setahun belakangan ini tampak mengecil. Entah karena digerogoti oleh penyakit Diabetes Mellitus yang dideritanya. Atau karena ia tak kuat harus hidup terpisah dengan dua orang yang ia sayangi. Selain itu, kulit tubuhnya tak sekencang dulu. Terlihat banyak kerutan, apalagi di sekitar mata. Itu menandakan usianya yang sudah tak muda lagi.



Ia adalah guru pertama saya. Olehnya, saya diajari berbagai macam hal. Karena ajarannyalah saya mengerti sedikit-banyak tentang hidup. Hubungan kami tidak hanya sebatas guru dan murid. Kami sangat dekat sekali, bahkan ia juga sangat mengerti saya. Dengan atau tidak mengatakannya, ia selalu tahu apa yang saya butuhkan. Dan tak segan-segan, ia selalu mampu memenuhinya. Untuk membalasnya, saya memberikan hadiah setiap tahun. Berbagai macam barang yang telah saya kasih. Tidak mudah mengetahui apa yang sedang ia inginkan saat itu, saya harus jeli mengamatinya. Biasanya saya menabung untuk membelikannya hadiah-hadiah itu. Ada kesenangan tersendiri melihat senyumnya merekah saat ia menerimanya. Namun, ada yang lebih menyenangkan dan membanggakan ketika akhirnya saya bisa membelikan sebuah hadiah bukan dengan uang tabungan melainkan hasil kerja saya sendiri.

Selain kebaikannya, yang membuat saya merindukannya adalah kehadirannya. Senyumnya selalu menyejukkan hati. Pelukannya adalah obat yang dapat menenangkan. Tubuhnya adalah selimut yang siap menghangatkan. Berada di sisinya, selalu membawa ketenangan bagi saya. Kami memang sedekat itu.

Dulu kala selama 9 bulan, saya pernah menumpang padanya. Kami berbagi makanan. Tempatnya memang gelap, namun sangat melindungi saya dari dunia luar. Tinggal di dalamnya adalah suatu kenyamanan yang sampai saat ini belum pernah ada tempat lain yang menandinginya.

Akhirnya, tadi pagi saya memutuskan untuk meneleponnya. Walau hanya mendengar suaranya, sudah cukup bagi saya. Tidak banyak yang kami bicarakan. Hanya menanyakan kabar masing-masing. Seperti biasa ia bertanya apa yang akan saya lakukan hari ini. Lalu setelah mengobrol tidak kurang dari 5 menit saya menyudahi teleponnya. Bukan karena saya sudah tidak butuh bicara dengannya. Bukan pula karena saya harus segera bergegas. Saya memutuskan telepon setelah saya mengucapkan selamat ulang tahun padanya disertai doa dan harapan untuknya. Singkat saja doa itu. Karena saya tak sanggup lagi berkata-kata lebih lama. Saat itu suara saya mulai bergetar. Cairan bening sudah menggenang di pelupuk mata. Itulah alasan saya mengakhiri pembicaraan. Karena bila saya meneruskannya, maka akan terdengar tangisan saya. Dan benar saja, 3 detik kemudian, saya mulai menangis. Tangisan yang lebih pilu daripada saat semalam tadi. Dan di tengah isakan, berulang kali saya berkata. Saya meminta maaf. Bahkan di ulang tahunmu saat ini saya belum mampu membuatmu bangga, Ibu.




ditulis dengan penuh cinta
Hanun

1 komentar:

  1. salam super sahabat,
    tetap semangat dan sukses selalu ya
    ditunggu kunjungan baliknya :)

    BalasHapus