Selasa, 23 April 2013

[Resensi] Fade In Fade Out

Judul: Fade In Fade Out

Penulis: Wiwien Wintarto

Tebal: 328 halaman

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Harga: Rp 49.000,-












PS: Resensi ini dibuat oleh orang yang baru pertama kali baca buku karya penulis tersebut.

fiuuuhhh....akhirnya selesai juga baca buku ini.

Alasan saya beli buku ini karena waktu itu lihat di akun @fiksimetropop bahwa penulis buku ini adalah salah satu penulis favoritnya. Kalau penulis favorit berarti tulisannya bagus kan? Dan karena ini dari mas Ijul (orang di balik akun tersebut), saya percaya seleranya. Berbekal hal tersebut, pergilah saya ke toko buku dan tanpa ragu alias tanpa membaca dulu sinopsis di belakangnya, saya langsung memasukkan buku tersebut ke tas belanja. Nah, pas mau mulai membaca saya baru baca sinopsisnya. Dan agak kecewa karena ada typo yang saya temukan. Awalnya agak drop sih, kalau di sinopsisnya aja typo jangan-jangan di isinya akan banyak typo. Tapi alhamdulillah, sepanjang saya baca sih hanya ada sedikit saja typo.

Untuk ceritanya sendiri sih buku ini tentang Seto, seorang jurnalis dan editor sebuah tabloid yang sangat kritis mengkritik sinetron-sinetron yang isinya hanya membodohi penontonnya saja. Ia ingin mengubah itu semua. Lalu datanglah kesempatan itu. Tapi bagaimana jika produser yang tertarik dengan ide cerita Seto menyuruhnya untuk membuat skenario yang tidak jauh beda dengan sinetron-sinetron terdahulu? Haruskah ia menurutinya dengan imbalan sejumlah uang yang menggiurkan? Selain harus berurusan dengan idealismenya tersebut, ia juga dipusingkan dengan urusan cintanya. Ia harus memilih antara Dana, gadis dengan kehidupan ala wanita urban yang dijodohkan dengannya ataukah Farah, anak salah satu pejabat terkenal di Indonesia.

Jujur aja, setelah sampai di sepertiga buku ini saya bertanya-tanya, ini novel atau daftar hadir? Soalnya banyak banget nama-nama tokohnya. Di mana tokoh-tokoh tersebut tidak pengting dan kehadirannya pun banyak yang hanya sekali. Apalagi saya tipe orang yang tidak suka dengan sebuah buku yang terlalu banyak tokoh dikarenakan agak sulit dalam hal mengingat. Saking banyaknya nama-nama di buku ini, ketika sampai di halaman 193 "Seto tak langsung menyahut karena ada SMS masuk, Bona.", saya bingung Bona tuh yang mana ya, dia siapa sih?

Selain masalah nama tokoh, saya agak terganggu juga dengan beberapa logika cerita di dalamnya. Pertama, Farah yang membuka kios pulsa di rumahnya. Ini aneh banget sumpah. Untuk seorang Farah yang termasuk dalam golongan menengah atas, kalau memang ingin memutar uangnya dalam sebuah bisnis kenapa harus kios pulsa yang nggak seberapa itu, di rumahnya pula? Kenapa nggak buka restoran, butik atau apalah bisnis yang lebih besar? Kedua, tentang Seto yang tak memiliki laptop. Ini sih perasaan saya aja sih, kok ya rasanya aneh di mana harga laptop sudah murah mengapa Seto tidak memilikinya? Apalagi laptop ini kan sangat mendukung pekerjaannya yang selalu berkaitan dengan menulis dan mengetik. Memang sih di flatnya dia punya komputer, tapi apa nggak lebih enak diganti sama laptop yang bisa dibawa ke mana pun? Ketiga, coba baca kalimat bercetak miring di paragraf sebelumnya. Anda tahu si Bona-Bona itu sms apa? Sms yang menanyakan kenapa Seto tidak meng-update status facebook. Alih-alih ketawa, saya malah mengerutkan alis. Apa nggak ada yang lebih masuk akal? Keempat, saat Seto mau mewawancarai Cassa dan dia lupa bawa bolpoin, kemudian bela-belain beli pulpen dulu. Kenapa sih nggak pakai hape aja? Toh Seto punya hape ini.

Nah, dari kasus kedua dan keempat yang ada di atas, saya jadi bingung. Dengan latar waktu di tahun 2012 (gimana saya bisa tahu, karena penulis mencantumkan bahwa Roy Suryo sebagai Menpora), di saat teknologi udah canggih dan jelas kalau Seto ini bukan tipe orang yang gagap teknologi, tapi kenapa di dua kasus itu malah kebalikannya? hhhh....

Yang terakhir, untuk nama-nama artis yang dimasukkan ke dalam buku, semuanya dicatut plek persis aslinya. Tapi ada satu nama yang nggak, yaitu Dude Harlanda. Itu maksudnya Dude Herlino kan? Iya kaaaan? Kenapa dia dibedakan? Sebagai fans Dude saya kecewa. hiks

Untung saja, dalam buku terdapat pembahasan bagaimana proses sinetron stripping dan kenapa ceritanya sangat tidak masuk akal. Dan juga pembahasan tentang jurnalistik yang diselipkan. Sehingga saya bisa memberikan dua bintang untuk buku ini.

Oiya, saya baru tahu kalau penulisnya itu adalah laki-laki setelah selesai baca buku ini. Haduh. *toyor-toyor kepala sendiri*

Seperti pembuka tulisan ini dan komentar penulis di bawah, mungkin resensi saya dan rating untuk buku ini bisa berubah jika saya baca buku-buku penulis terdahulu. Jadi, yang punya info atau mau meminjamkan bahkan memberi novel mas Wiwien (sok ikrib), boleh loh saya ini dikasih (tahu) :))

2 komentar:

  1. tengkiu ulasannya. yg lebih penting, tengkiu udah mbaca. kalo mbaca semua novel2ku, baru deh tahu siapa itu Bona-bona dan siapa saja semua nama itu, sebab mereka saling berkaitan sejak novel pertama (Kok jadi Gini, 2005) sampai yang ini, novel ke-11.
    kisah Farah mengapa bisa jadi aneh seperti itu ada di novel The Sweetest Kickoff (2009). then semua akan jadi masuk akal, hehe...

    BalasHapus
  2. okeee mas. berarti PR saya berburu novel-novel mas Wiwien sebelumnya ya? :) Duh, semoga masih bisa didapat deh. Kan kalo saya baca buku pendahulunya, saya bisa naikin rating FIFO ini. bukan begitu tho? :)

    BalasHapus