Jumat, 02 Maret 2012

[Resensi] (Film) Negeri 5 Menara

Tadi siang, saya akhirnya berkesempatan menonton film Negeri 5 Menara. Dari jauh-jauh hari, saya sudah mempersiapkan adanya kemungkinan bahwa film ini tidak lebih bagus dari bukunya. Sangat wajar toh ketika kita menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel, kita akan membandingkan adegan apa yang ada di buku dan di kepala kita? Ya, benar! Membandingkan dengan imajinasi di kepala yang terbentuk saat kita membaca bukunya. Dan tentunya, setiap orang akan mempunyai imajinasi yang berbeda sehingga mereka akan membuat 'film' sendiri dalam benaknya.

Bukan hal yang mudah mengadaptasi novel menjadi sebuah film. Banyak adegan yang harus dipilih dengan seksama untuk dimasukkan ke dalam film. Tentunya tidak semua adegan dapat dipilih mengingat durasi yang tidak memungkinkan. Sehingga tak jarang beberapa adegan akan 'dipadatkan' atau malah sama sekali ditiadakan.

Begitu pula dengan yang terjadi pada film Negeri 5 Menara. Tapi berhubung saya membaca novel ini sekitar 3 tahun lalu, saya lupa-lupa ingat (lupa-lupa ingat bukan ingat-ingat lupa, karena saya memang banyak lupanya daripada banyak ingatnya. doh!) akan setiap adegan dalam buku tersebut. Tetapi kalau tidak salah ada adegan di mana para santri mendapat tugas untuk menjalani ronda malam karena keadaan pondok yang tidak aman saat itu. Kalau memang benar adegan ini ada di buku (karena saya takut tertukar bahwa adegan ini ada di  buku Ranah 3 Warna), adegan ini tidak ada di dalam film.Masih bisa dimaklumi karena adegan tersebut memang tidak terlalu krusial.


Selebihnya, adegan yang lain ada yang beberapa 'dipadatkan' namun tetap berjalan seperti seharusnya. Semangat 'Man Jadda Wajadda' yang didapat para santri di kelas dapat terasa oleh saya. Kemudian saat Baso keluar dari pondok karena harus kembali ke kampung halaman untuk mengurus neneknya yang sedang sakit, membuat saya dan penonton lainnya terharu (saya tahu penonton lain juga terharu karena terdengar komentar mereka 'aah sediiih'). Pementasan seni yang saat saya baca bukunya sudah membuat saya terpukau, dapat divisualisasikan dengan baik. Dan menurut saya yang menjadi bintang dalam film ini adalah Atang. Aktingnya yang natural dan sosoknya yang memang kocak, mampu membuat anda tertawa. Lebih terasa lagi saat para anggota sahibul menara berkumpul, ada saja tingkah lucu mereka, dan bersiaplah untuk terpingkal-pingkal! Bagian ini terasa lebih mengundang tawa dibandingkan saat saya membaca bukunya :D

Semuanya sudah cukup baik, namun di bagian akhir saya merasa ada yang kurang pas. Dalam film tidak dijelaskan sedikit pun perjalanan Alif dan teman-teman lulus dari pondok. Tiba-tiba saja Alif sudah di London dan bertemu dengan sahabat sahibul menara. Mungkin bagi yang sudah membaca bukunya dapat memahami, namun bagi yang belum (dan karena saya menonton bersama teman yang belum membaca bukunya) mereka akan kebingungan (begitu yang teman saya katakan).

Menurut saya kekurangan dari film ini hanya terletak pada ending yang kurang smooth. Sisanya, buktikan sendiri bahwa film ini layak ditonton karena menularkan rasa semangat bagi penontonnya. Buktikan dengan menontonnya langsung dengan mata kepala anda sendiri! ;)

ps: pertanyaan saya, kenapa Alif saat dewasa berbeda sekali dengan saat muda? Saya lebih suka Alif pas muda, manis! :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar